Santet dan Perlindungan Saksi

Sebelum memulai membaca tulisan ini, saya ingin menyampaikan “Minal Aidin walfa Idzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin“, sekaligus saya juga ingin menyampaikan permohonan maaf karena sudah lebih dari satu bulan tidak pernah melakukan update tulisan pada blog ini. Mohon maaf juga ketika tulisan ini diturunkan berita terkait sudah basi. Sebenarnya tulisan ini sudah dipersiapkan up-to-date, tapi karena kesibukan, tulisan ini baru bisa diturunkan saat ini.


Topik penulisan kali ini terinspirasi dari beberapa berita terkait persidangan terdakwa kasus korupsi Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR yang beritanya dapat dibaca di bawah judul “Aksi Mistik di Sidang Syaukani: Dupa, Silet Hingga Gigi Ompong” dan juga berita “Aroma Mistik Sidang Syaukani, Ki Gendeng Siap Menyantet“. Terlepas dari permasalahan mistis, tulisan ini mengambil sudut pandang dari hukum perlindungan saksi.

Bagi yang belum mengentahui latar belakang kasus dugaan korupsi Syaukani, berikut rekan nug_adhit mengirimkan kasus posisinya untuk mempermudah kita memahami latar belakang topik kita kali ini.

Kutai Kartanegara, kabupaten seluas 28.972,98 km persegi dengan 18 kecamatan ini, memang perkembangannya unik. Dari kabupaten peringkat 108 dengan APBD hanya Rp 200 miliar pada 2001, Kukar kini menjadi kabupaten terkaya dengan APBD Rp 2,7 triliun, melampaui APBD Kaltim yang hanya Rp 2,1 triliun. Di bawah Syaukani, Kutai Kartanegara menjadi kaya lewat eksploitasi tambang emas, batu bara, minyak, dan sarang burung. Dari hingar bingarnya pembangunan Kabupaten Kutai Kartanegara telah menyimpan sedikit permasalah, yaitu dugaan korupsi yng dilakukan oleh Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara, Syaukani.

Pada Desember 2006, KPK menetapkan Syaukani sebagai tersangka untuk empat kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 40,75 miliar. Kasus itu adalah:
1. Penggelembungan studi kelayakan pembangunan Bandara Loa Kulu, Kutai Kartanegara yang merugikan negara Rp 3 miliar.
2. Kemudian kasus pembebasan tanah pembangunan bandara Rp 15 miliar,
3. Penyalahgunaan dana bantuan sosial sebagai dana taktis Rp 7,75 miliar serta,
4. Upah pungutan dana perimbangan untuk negara dari sektor minyak dan gas Rp 15 miliar.

Dengan dugaan total kerugian negara Rp 40,75 miliar. Selain empat kasus itu, KPK juga tengah mengembangkan dugaan korupsi Syaukani di beberapa kasus lainnya,
1. Pengadaan diesel pembangkit listrik,
2. Pembangunan sistem sterilisasi air (water treatment), serta
3. Pengadaan ribuan sepeda motor bagi guru dan dosen.

Dalam hal pembangunan Bandara Loa Kulu, Kutai Kartanegara Syaukani melakukan Penunjukan Langsung (PL) terhadap MDI sebagai pelaksanaanya dengan nilai kontrak Rp 7.183.500.000 disepakati. Pelaksanaann di lapangan, MDI malah menunjuk pihak ketiga yakni PT Inkona Engineering dan PT Patono Konda. Untuk itu, MDI hanya membayar Rp 2.222.073.717, sehingga nilai pekerjaan dinilai jaksa kemahalan. Sedangkan dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan mesin diesel, pemerintah Kabupaten Kutai menggandeng PT Diastarindo Prima.

Pengerjaan proyek itu dengan nilai sebesar Rp 29,11 miliar. Namun dari tiga alat yang dipesan, hanya satu yang diterima pemerintah Kutai. Selain itu, Syaukani dianggap salah oleh Jaksa dengan mengluarkan SK Bupati No 180.188/HK-88/2001 tanggal 20 Februari 2001 yang mengatur tentang pembagian insentif migas kepada unsur muspida yakni kapolres, ketua pengadilan, kepala kejaksaan, dandim.

Disebutkan bagian mereka sebesar 3 persen dari realisasi penerimaan daerah. Di atas itu, bagian Bupati mencapai 25 persen, Wakil Bupati 8,5 persen, staf dispenda sebanyak 26 persen dan dana taktis bupati sebesar 6 persen. Total selama 5 tahun, dana bagi hasil migas yang dibagi-bagi mencapai Rp 93.204.157.865,76. Sedangkan Syaukani sendiri mendapat Rp 27.843.988.279,95.

Perbuatan Syaukani tersebut bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah No 22 tahun 1999 dan UU No 32 tahun 2004, termasuk juga PP 105 tahun 2000 tentang pengelolaan pertanggungjawaban keuangan daerah, Keppres 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. Dan dikenakan dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 jo 18 UU No 31 tahun 1999 yang telah diubah UU 20 No 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo 65 ayat 1 dan 2 KUHP, subsider Psal 3 jo 18 UU 31 1999 yang telah diubah UU 20 No 2001 jo 65 ayat 1 n 2 KUHP.

Sekali lagi, tulisan ini tidak akan menyoroti aspek material dari kasus tersebut tetapi melihat kondisi persidangan yang terjadi. Posisi kasus tersebut hanya gambaran supaya pembaca dapat lebih memahami latar belakang pembahasannya.

Sebagaimana dua berita yang saya kutip yang pada pokoknya kedua berita itu menyeritakan bagaimana paranormal yang hadir dalam ruangan tersebut telah membuat suasana yang mistis dan dapat diindikasikan menimbulkan kecemasan pada pihak saksi.

Salah satu berita yang juga mengindikasikan hal tersebut adalah berita dari Tribun Kaltim Online yang menulis berita dengan judul “Vonnie Jadi Pelupa Saat Sidang”. Meskipun harus dibuktikan lebih lanjut apakah karena kehadiran dari paranormal maka para saksi yang diajukan menjadi bingung, kita tetap dapat melihat esensi dari tindakan paranormal tersebut dari kacamata hukum.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi (UU No. 13/2006), dijelaskan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Unsur dalam definisi saksi ini telah terpenuhi oleh Vonnie yang hadir dipersidangan dalam kapasitas diperiksa sebagai saksi atas suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 13/2006 dijelaskan mengenai ancaman. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.

Terlihat dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 13/2006 tersebut, ancaman yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak hanya dapat diartikan ancaman secara fisik, melainkan pasal ini menggunakan unsur “segala bentuk perbuatan” yang memiliki arti luas. Ancaman dalam pasal tersebut dapat diartikan bentuk perbuatan secara fisik maupun nonfisik yang akan mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana, termasuk di dalamnya memberikan kesaksian di bawah tekanan sehingga kesaksian yang diberikan tidak sempurna.

Sebagai saksi dalam suatu persidangan tindak pidana, seharusnya Vonnie mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 13/2006 yaitu:

(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. mendapat identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.

Saya sendiri menyoroti huruf c pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 13/2006 tersebut yaitu seorang Saksi berhak untuk memberikan keterangan tanpa tertekan. Pertanyaannya adalah, apakah ketika Vonnei memberikan keterangan di persidangan Syaukani dengan hadirnya paranormal yang selama persidangan melakukan ritual mistis yang menyeramkan seperti menyilet dirinya sendiri hingga berdarah, ia terbebas dari tekanan atau ancaman?

Selain itu, dalam berita yang saya kutip tersebut, si paranormal bahkan memberikan pernyataan siap melakukan santet kepada setiap saksi yang akan memberikan kesaksian. Meskipun pada dasarnya kita tidak bisa membuktikan santet itu nyata atau tidak, akan tetapi di Indonesia yang kultur budayanya banyak bersinggungan dengan dunia mistis, setiap orang cukup paham apa yang dimaksud dengan santet dan kemungkinan yang akan timbul dari santet tersebut.

Ancaman “akan disantet” menurut saya sudah dapat dikategorikan ancaman secara psikis yang akan mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan yang seharusnya di persidangan. Memang si paranormal tersebut tidak menyatakan secara langsung ke setiap saksi, bahwa ia akan melakukan santet, tetapi pernyataannya di media massa dapat diartikan adalah upaya ancaman secara tidak langsung, karena setelah berita ini dipublikasikan ada kemungkinan si saksi dapat membaca berita tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, saya rasa seharusnya setiap saksi yang akan memberikan kesaksian pada persidangan Syaukani mendapatkan perlindungan. Perlindungan di sini tentu saja bukan berarti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban harus menyediakan paranormal lain untuk melindungi saksi dari “ancaman santet” paranormal yang (meskipun dibantah oleh Syaukani) mendukung Syaukani.

Perlindungan di sini saya maksudkan adalah perlindungan hukum dengan cara memeroses paranormal tersebut melalui jalur hukum, karena berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU No. 13/2006 dijelaskan

(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200. 000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan tersebut si paranormal dapat diduga telah memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu yang dalam hal ini dapat kita lihat dari adanya upaya ancaman secara psikis (ancaman akan disantet) sehingga Vonnie tidak dapat memberikan keterangan tanpa tekanan.

Tapi sayangnya, tidak hanya dipersidangan ini saja, hampir disetiap bersidangan yang mendapat sorotan publik selalu saja ada hak-hak saksi yang terabaikan seperti ketika saksi memberikan keterangan, penonton sidang bersorak sehingga terkadang menyebabkan saksi jadi berpikir dua kali dalam memberikan keterangannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.