One Laptop Per Child, Mungkinkah Di Indonesia?

One Laptop per ChildSungguh menarik gagasan dan langkah yang dilakukan oleh MIT Media Lab dalam upaya mengadakan pemerataan dan kesempatan akses terhadap teknologi, khususnya bagi anak-anak di negara berkembang.

One Laptop Per Child (OLPC) atau dikenal juga dengan istilah $100 Laptop sesungguhnya bukan merupakan suatu gagasan dan langkah yang inovatif. Tercatat beberapa proyek sejenis telah melakukan hal yang sama, yaitu menghasilkan perangkat teknologi yang murah. Sebut saja program Class Mate PC yang yang dilakukan oleh Intel, program Asus Eee PC atau program dalam skala negara yaitu Digital Text Book yang dilakukan oleh Korea Selatan.

Hanya saja yang menarik dari program ini adalah OLPC tidak akan dijual secara bebas, sehingga kemungkinan melonjaknya harga karena mekanisme pasar dapat diminimalisir. Selain itu, adalah adanya suatu jaminan penjualan OLPC ini hanya dilakukan terhadap pemerintah dari negara berkembang. Kemudian oleh pemerintah, OLPC ini dapat dijual kembali kepada sekolah yang membutuhkan atau dapat diberikan kepada sekolah secara cuma-cuma (baca: gratis) sebagai salah satu bentuk subsidi pemerintah dalam bidang pendidikan.

Teknologi yang diusung oleh OLPC ini tidak mengecewakan, sebut saja beberapa teknologi yang berkembang saat ini telah ditanam dalam perangkat tersebut antara lain Connectivity 802.11b/g /s wireless LAN yang akan mempermudah mengakses internet, built-in video camera yang dapat mendukung tutorial dengan sistem tatap wajah (face-to-face tutorial), dalam pembelajaran berbasis elektronik (e-Learning), Display dual-mode 19.1 cm/7.5″ diagonal TFT LCD 1200×900, dan Operation System berbasis Opened Source yang memiliki dukungan komunitas yang baik serta teknologi pendukung lainnya. Melihat teknologi tersebut, tentu kita sepakat, kalau produk ini bukan sekedar perangkat mainan belaka, tetapi merupakan suatu perangkat yang serius tetapi dikemas dengan harga “yang tidak serius”.

Produksi dari OLPC ini sendiri telah dimulai dan kalau saja nanti penggunaan perangkat ini dimaksimalkan, tentu tujuan awal dari prangkat ini untuk mempersempit kesenjangan teknologi antara negara maju dengan negara berkembang dapat terwujud. Perlu di ingat, sasaran dari program ini adalah anak-anak, dan ini menurut saya adalah pilihan yang tepat, karena berdasarkan pengalaman pribadi, mengenal suatu teknologi sedari kecil akan mempermudah pemahaman serta implementasi lebih lanjut dikemudian hari. Selain itu, menanamkan ketertarikan terhadap teknologi sedari dini dapat meransang ketertarikan terhadap hal lain yang terkait teknologi tersebut. Contoh: sebagian besar teknologi penggunaannya menggunakan bahasa inggris, dengan demikian si pengguna teknologi pada umumnya akan tertarik memahami bahasa inggris.

Selanjutnya, jika perangkat ini telah selesai diproduksi dan siap untuk didistribusikan maka diperlukan campur tangan Negara, yang dalam hal ini Pemerintah untuk proses distribusinya, agar perangkat ini menjadi tepat sasaran. Beberapa Negara telah setuju untuk berpartisipasi dalam upaya pengembangan, distribusi dan penggunaan dari perangkat ini. Antara lain, Argentina, Brazil, Kamboja, Libya, Nigera, Uruguay, dan tidak ketinggalan Amerika. Tapi, dari daftar negara tersebut saya tidak menemukan suatu Negara berkembang dari Asia Tenggara yang bernama Indonesia, padahal saya yakin Negara tersebut sangat membutuhkan program ini.

Tingkat buta huruf di Indonesia cukup tinggi, yaitu sampai dengan 15,6 Juta penduduk. Dari jumlah 15,6 Juta tersebut, rentang usia 15-44 tahun merupakan jumlah terbanyak penduduk yang buta huruf. Sungguh sayang dalam usia produktif tersebut sebagian penduduk Indonesia buta huruf. Saya melihat ini disebabkan terjadinya kesenjangan pendidikan di Indonesia. Luasnya jurang akses terhadap teknologi informasi juga memicu terjadinya hal tersebut. Meskipun belum dibuktikan secara empiris, saya yakin terdapat kaitan erat antara akses terhadap teknologi informasi dengan “penderita” buta huruf. Semakin rendah akses terhadap teknologi informasi, semakin besar jumlah buta huruf.

Nah, OLPC dapat digunakan di Indonesia sebagai salah satu solusi dari hal tersebut. Mungkin beberapa pihak tidak setuju dengan gagasan ini, dengan alasan tidak cukup signifikan penggunaan OLPC untuk memberantas buta huruf. Saya dapat memahami alasan dari pihak tersebut dan dalam beberapa kondisi saya setuju. Tapi, bagi saya solusi ini lebih nyata dan lebih praktis daripada solusi mengganti kurikulum hampir tiap tahun. Meskipun hasil dari program OLPC di Indonesia tidak signifikan, tetapi upaya mengenalkan teknologi secara dini dan implementasi teknologi dalam bidang pendidikan serta dukungan dari komunitas terhadap OLPC, saya rasa dapat memperkecil jurang kesenjangan tersebut.

Saya jadi teringat saat berdiskusi di FHUI dengan Bapak Onno W. Purbo mengenai Program Sekolah 2000 yang digagas oleh Heru Nugroho. Inti dari program tersebut adalah membentuk suatu komunitas internet anak bangsa. Terlihat dari program ini betapa pentingnya sikap gotong royong dalam menyelesaikan masalah bangsa, khususnya terkait informasi teknologi dan pendidikan. Dengan analogi tersebut, maka saya juga yakin kalau OLPC ini didukung oleh Pemerintah dan komunitas di Indonesia, maka secara perlahan tapi pasti, permasalah pendidikan di Indonesia juga dapat teratasi. Dengan adanya OLPC diharapkan terjadinya perubahan paradigma pendidikan di Indonesia, dimana akan menempatkan pelajar pada posisi yang lebih aktif, yaitu lebih banyak mencari sumber pelajaran menggunakan perangkat OLPC-nya dibanding “disuapin” oleh guru. Selain itu dengan OLPC, ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru akan jauh lebih menarik karena disajikan secara multimedia. Saya jelas akan lebih mengerti mengenai sistem reproduksi yang digambarkan secara multimedia dibandingkan disajikan diatas kertas belaka 🙂 *maaf ini hanya contoh saja*

Tapi perlu di ingat juga, tidak serta merta jika Pemerinah kita mengimplementasikan OLPC maka terjadi perbaikan di sektor pendidikan. Banyak hal terkait OLPC juga yang harus dibenahi bersama, terutama terkait dengan Sumber Daya Manusia dan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia yang harus optimal apabila ingin memaksimalkan OLPC.

Semoga pemikiran sederhana ini dapat menjadi sumber pemikiran yang lebih kaya dalam membagun serta memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia melalui Informasi Teknologi.

Wassalam

Zka

2 Replies to “One Laptop Per Child, Mungkinkah Di Indonesia?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.