Tanggapan Kasus Wildan

Masih belum ada ide untuk nulis blog, jadi beberapa post terakhir ini seputar tanggapan-tanggapan atas tulisan orang lain. Kalau sebelumnya adalah tanggapan analisis hukum di rubrik Hukumonline, sekarang saya memberikan tanggapan atas tulisan dari rekan Sam Ardi atas tulisan “Menerawang Kasus Wildan“. Sebelum membahas pokok permasalahan, setelah melihat blog-nya Sam Ardi, saya mendadak jadi ingin ganti theme blog ini yang terkesan ngga jelas..hehe.

Continue reading “Tanggapan Kasus Wildan”

Tanggapan atas Rubrik Klinik Hukumonline

Pagi ini saya membaca tweet dari Hukumonline tentang “Hukum Merekam Menggunakan Kamera Tersembunyi (Hidden Camera)” yang terdapat dalam tautan ini. Setelah membaca isinya, saya berpendapat bahwa terdapat penerapan pasal yang tidak tepat atas pertanyaan tersebut, yaitu penerapan Pasal 31 ayat (1) jo. Padal 47 UUITE. Saya telah menyampaikan kepada Hukumonline ada kekurangtepatan penerapan pasal dalam kasus yang ditanyakan.

Continue reading “Tanggapan atas Rubrik Klinik Hukumonline”

Review Singkat Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik

Karena belum sempat membuat review secara mendalam, berikut review singkat tentang PP 82/2012 ini. Insya Allah kalau sudah ada waktu dan telah dapat hasil research yang lebih baik, bisa di-update lagi tulisan ini. PP 82/2012 sendiri dapat diperoleh di sini

Continue reading “Review Singkat Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik”

Slide Presentasi tentang Cyber Crime

Tulisan singkat sekedar menginformasikan link berisi presentasi saya mengenai cyber crime yang lebih banyak beroriendasi pada UU ITE. Presentasinya sendiri benar-benar hanya berisi pointer materi. Kalau memang ada yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dari pointer tersebut, silahkan langsung email ke saya atau tinggalkan pesan pada kolom komentar di bawah.

Berikut link-nya Presentasi Cyber Crime.

Regards,
Zaka

Pengantar Pengaturan Hukum di Internet

A. Pendahuluan

Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat siapa yang berhak menjadi pemerintah dalam ranah Internet yang konon terkenal dengan jargon borderless teritory. Selain itu, apabila telah diketahui siapa yang berhak mengatur di Internet, bagaimanakah penyelesaian sengketa yang terjadi di Internet? Tunduk pada hukum manakah para pihak yang bersengketa tersebut? Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kita menganut teori apa dan bagaimana prakteknya?

B. Tiga Pendekatan Regulasi Internet

Menurut Viktor Mayer-Schönberger terdapat tiga pendapat mengenai bentuk pengaturan mengenai siapa yang berhak meregulasi Internet. Pendapat pertama dikenal dengan teori The State-Based Traditionalist Discourse mengatakan sebaiknya pihak yang mengatur Internet adalah pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Pendapat kedua mengatakan, Internet sebaiknya diatur oleh masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah The Cyber-Separatist Discourse. Terakhir, pendapat ketiga yaitu, aliran The Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional.

Pendapat pertama, State-Based Traditionalis Discourse Berdasarkan pendapat ini bentuk pengaturan Internet akan diatur oleh masing-masing negara. Kelebihan teori ini adalah penegakan hukum terhadap pengaturan Internet lebih terjamin. Sementara itu, kelemahan dari pengaturan ini adalah dilupakannya dasar dari Internet yaitu sifat global. Tidak mungkin suatu negara dapat memaksakan peraturan negaranya bagi warga negara lain yang menggunakan fasilitas Internet di negaranya.

Pendapat kedua mengatakan, Internet sebaiknya diatur oleh masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah The Cyber-Separatist Discourse. Pendapat ini memisahkan antara kehidupan sosial di dunia nyata dengan kehidupan di dalam cyberspace. Berdasarkan pendapat ini sebaiknya pengaturan mengenai Internet tidak usah dilakukan oleh negara, karena tidak akan ada peraturan yang cocok untuk mengatur kemajemukan di Internet. Karena pengaturan Internet menggunakan kebiasaan, para pengguna Internet akan merasa lebih dapat menerima peraturan yang ada. Akan tetapi, kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya terjadi sengket antara para pihak.

Pendapat ketiga yaitu aliran The Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional. Jadi, ada suatu ketentuan hukum berlaku secara internasional yang mengatur mengenai Internet. Pendapat ini mengarahkan pandangannya kepada usaha untuk mengunifikasikan peraturan Internet. Kelemahan dari aliran ini adalah, tidak semua negara mau mengakui pengaturan mengenai Internet yang berlaku tersebut, karena tiap negara memiliki karakterisitik tersendiri.

C. Penyelesaian Sengketa

Kecenderungan yang terjadi dalam proses penyelesaian sengketa di Internet khususnya dalam penyelesaian sengketa e-commerce yang dilakukan antara business to consumer (B2C), pilihan hukum yang digunakan adalah berdasarkan hukum nasional dari si pelaku bisnis, karena konsumen hanya memiliki pilihan menerima klausula baku arbitrase yang tersedia atau tidak melakukan e-commerce sama sekali (take it or leave it). Hal ini dipengaruhi hukum positif yang mengatur Internet di negara tersebut, sehingga di pengaturan mengenai e-commerce mengikuti hukum yang mengatur tentang koneksi e-commerce dalam hubungan Internetnya. Dengan demikian proses arbitrase akan menggunakan pilihan hukum dimana media Internet yang menjalankan e-commerce berada.

Apabila sengketa yang terjadi dalam hubungan e-commerce antara client to client (C2C). Pengaturan hukum Internet yang biasa digunakan adalah menganut pada aliran The Cyber-Separatist Discourse yaitu mereka akan mengatur tersendiri mengenai pilihan hukum mana yang akan digunakan. Selanjutnya, apabila sengketa tersebut melibatkan sesama pelaku bisnis mengenai suatu hal yang berlaku secara internasional, mereka akan menganut pada aliran The Cyber-Internationalist Discourse yaitu ketentuan hukum internasional yang berlaku. Contoh sengketa pada kasus ini adalah sengketa mengenai “nama domain” atau domain name di mana pihak penyedia domain name untuk Top Level Domain seperti dot com, dot org, dan dot net menyerahkan sengketanya untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan pilihan hukum, hukum internasional yaitu Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy.