New Theme

Blog ini sudah benar-benar terbengkalai. Terlalu banyak alasan kenapa blog ini sama sekali tidak diacuhkan. Mulai dari kesibukan dipekerjaan, kesibukan sharing informasi via microblogging seperti twitter, facebook atau Google Plus. Banyak alasan lainnya yang saya sendiri bahkan mulai malas memikirkannya.

Juga terlalu banyak cita-cita untuk kembali aktif menulis di blog ini. Sebagian mungkin tidak akan tercapai, karena selain mengelola blog ini, saya juga harus mulai aktif lagi nulis untuk Neoteker. Pun, tulisan ini sebenarnya dibuat hanya untuk melengkapi kelahiran dari theme baru yang saya pilih ini. Tidak lebih.

Bicara rencana, semestinya blog ini dapat cukup mewakili beberapa pandangan saya yang terlalu banyak jika harus disalurkan lewat media microblogging. Mungkin tidak akan terlalu banyak tulisan analisis, hanya tulisan-tulisan refleksi pemikiran.

Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Ilustrasi Bahasa Indonesia
Ilustrasi Bahasa Indonesia
Pada tanggal 9 Juli 2009, telah diundangkan Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009).

Salah satu hal yang menarik dalam UU 24/2009 ini dapat dilihat dalam Pasal 31 UU 24/2009 yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Selain itu, nota kesepahaman atau perjanjian melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Dalam Penjelasan Pasal 31 UU 24/2009 ini dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi intrnasional atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain dan/atau bahasa Inggris.

Berdasarkan Pasal 31 beserta Penjelasan Pasal 31 UU 24/2009 ini secara sederhana dapat dijelaskan bahwa setiap perjanjian (termasuk nota kesepahaman) yang salah satu pihaknya merupakan orang/badan hukum Indonesia, maka perjanjian tersebut harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Sementara bahasa asing atau bahasa Inggris dalam suatu perjanjian sifatnya merupakan komplemen dari bahasa Indonesia tersebut.

Pertanyaan logis yang mungkin timbul dengan adanya kewajiban membuat nota kesepahaman dan perjanjian dalam bahasa Indonesia adalah, apa sanksi bagi para pihak yang tidak melaksanakan kewjiban ini?

Dalam UU 24/2009 ini tidak diatur lebih lanjut sanksi bagi para pihak yang membuat perjanjian tidak dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kita perlu melihat permasalahan ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam konteks perjanjian perdata secara umum.

Sebagaimana yang kita ketahui, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan syarat sahnya suatu perjanjian salah satunya adalah karena “suatu sebab yang halal”. Apa itu sebab yang halal? Berdasarkan Pasal 1337 dijelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan kata lain, suatu perjanjian dikatakan memenuhi syarat “sebab yang halal” adalah apabila perjanjian tersebut dibuat dengan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.

Yang ingin saya sampaikan dalam hal ini adalah:

1. apakah dengan kita tidak mengikuti kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak sah berdasarkan KUHPerdata? Menurut hemat saya, iya. Dalam memandang masalah ini, saya menggunakan pandangan konservatif yang cukup sempit, yaitu menafsirkan penerapan Pasal 1337 terhadap kewajiban dalam Pasal 31 UU 24/2009. Dengan tidak memenuhi Pasal 31 UU 24/2009 tersebut dapat dikatakan perjanjian kita tidak sah berdasarkan KUHPerdata, sehingga perjanjian tersebut secara otomatis akan batal demi hukum.

2. apakah suatu pihak (pihak Indonesia) dapat menuntut pihak lainnya (pihak asing) apabila suatu perjanjian setelah UU 24/2009 ini diundangkan dibuat hanya dalam bahasa Inggris? Sekali lagi, secara hemat saya jawab, iya. Pihak Indonesia dapat mengajukan gugatannya dengan dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak asing. Alasannya adalah, pihak asing tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan membuat perjanjian yang melanggar ketentuan dalam Pasal 31 UU 24/2009.

Pendapat saya di atas dapat saja ternyata kemudian hari berubah, seiring diterbitkannya Peraturan Pemerintah sehubungan UU 24/2009 ini.

Sesungguhnya, masih tersisa pertanyaan sehubungan dengan dua pertanyaan di atas, yaitu: Apakah dapat dalam perjanjian, para pihak sepakat hanya untuk menggunakan bahasa Indonesia dan untuk itu para pihak sepakat mengenyampingkan Pasal 31 UU 24/2009? Hal ini perlu kita pertanyakan, mengingat sering kali dalam suatu perjanjian para pihak mengenyampingkan suatu ketentuan hukum (contoh: mengenyampingkan ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPerdata).

  • *gambar diperoleh dari sini
  • Upgrade WordPress 2.1.13 -> 2.2

    Engine wordpress di blog ini telah di update dari versi 2.1.13 ke versi terakhir, yaitu versi 2.2. Seluruh proses update berjalan dengan lancar, kecuali ketika proses re-aktifasi plugins widget karena widget yang ada sebelumnya tidak mensupport versi 2.2. Akan tetapi hal ini tidak masalah, karena pada versi wordpress 2.2 telah terkandung secara otomatis feature widget tersebut.

    referensi untuk mengupdate dilihat pada link berikut.
    http://codex.wordpress.org/Upgrading_WordPress