Perlindungan Data Pribadi dalam Konstruksi Hukum Indonesia (Seminar di XL Axiata)

Pada 29 Oktober 2018 lalu saya berkesempatan berkunjung ke kantor XL di XL Axiata Tower untuk memberikan materia mengenai Perlindungan Data Pribadi yang menjabarkan bagaimana konstruksi hukum di Indonesia memberikan perlindungan kepada data pribadi terlepas dari masih belum diundangkannya Rancangan Undang-undang Data Pribadi.

Continue reading “Perlindungan Data Pribadi dalam Konstruksi Hukum Indonesia (Seminar di XL Axiata)”

Moderator “Seminar Kekayaan BUMN dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik”

Merupakan suatu kehormatan dapat menjadi moderator pada acara “Seminar Kekayaan BUMN dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik”. Acara ini merupakan rangkaian perayaan ulang tahun FHUI yang ke 94. Selain acara yang saya moderatori ini, terdapat beberapa seminar yang tak kalah menarik juga.

Acara ini dihadiri para pakar yang tidak diragukan lagi keilmuan dan pengalamannya dalam menjelaskan konsep kekayaan negara dan juga bagaimana suatu BUMN yang merupakan salah satu pilar perekonomian negara dapat memberikan kontribusi maksimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Dalam seminar ini juga sedikit dibahas mengenai Rancangan Undang-undang Badan Usaha Milik Negara yang rencananya akan menggantikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Undang-undang Badan Usaha Milik Negara.

Dari draft yang saya peroleh, terdapat beberapa isu kontroversial terkait dengan RUU BUMN tersebut, antara lain definisi BUMN dan Persero yang diusulkan tidak lagi terbatas pada perusahaan di mana negara memiliki penyertaan secara langsung tetapi sekarang apabila terdapat penyertaan negara secara tidak langsung pun, maka perusahaan tersebut akan menjadi BUMN.

Sebagai konsultan hukum yang banyak berkecimpung dalam transaksi dan mewakili klien BUMN tentunya banyak ilmu bermanfaat yang saya peroleh dari acara ini dan semoga kedepannya saya dapat memberikan kontribusi lebih baik dalam memberikan nasihat hukum kepada klien BUMN tersebut.

Terima kasih kepada panitia atas kesempatan yang diberikan dan juga terima kasih kepada beberapa klien yang juga hadir dalam seminar tersebut untuk berpartisipasi dan bersilaturahmi bersama.

Pergi berlayar ke pulau Maluku
Melihat negeri yang kaya raya
Maju terus FHUI ku
Bersatulah Indonesia jaya

 

Perlindungan Data Pribadi? Masih Peduli?

Privacy atau kalau diterjemahkan secara sederhana “kebebasan pribadi”,  erat sekali dengan isu bagaimana data pribadi kita mendapatkan perlidungan yang cukup sehingga tidak ada lagi penyalahgunaan data pribadi kita. Tentunya cukup sering kita mendapatkan telepon dari telemarketing yang menawarkan pinjaman tanpa agunan, penawaran kartu kredit dan juga penawaran penutupan asuransi. Sepanjang kita tidak bermasalah dengan hal tersebut, pada dasarnya  tidak akan menjadi suatu isu hukum, tapi bagaimana kalau kita merasa terganggu?

Continue reading “Perlindungan Data Pribadi? Masih Peduli?”

Koridor Hukum Penjualan Aset BUMN yang Tidak Produktif

Efisiensi BUMN sudah menjadi target utama pada saat Dahlan Iskan diangkat menjadi Menteri BUMN menggantikan Mustafa Abubakar. Sebelum menjabat sebagai Menteri BUMN, Dahlan Iskan merupakan Direktur Utama PLN yang selama menjabat terkenal dengan semboyan “Kerja, Kerja dan Kerja!”. Visi dan misi yang simpel bagi perusahaan sebesar PLN, namun kenyataannya visi dan misi tersebut memang sangat tepat diterapkan di PLN.

Continue reading “Koridor Hukum Penjualan Aset BUMN yang Tidak Produktif”

Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Ilustrasi Bahasa Indonesia
Ilustrasi Bahasa Indonesia
Pada tanggal 9 Juli 2009, telah diundangkan Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009).

Salah satu hal yang menarik dalam UU 24/2009 ini dapat dilihat dalam Pasal 31 UU 24/2009 yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Selain itu, nota kesepahaman atau perjanjian melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Dalam Penjelasan Pasal 31 UU 24/2009 ini dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi intrnasional atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain dan/atau bahasa Inggris.

Berdasarkan Pasal 31 beserta Penjelasan Pasal 31 UU 24/2009 ini secara sederhana dapat dijelaskan bahwa setiap perjanjian (termasuk nota kesepahaman) yang salah satu pihaknya merupakan orang/badan hukum Indonesia, maka perjanjian tersebut harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Sementara bahasa asing atau bahasa Inggris dalam suatu perjanjian sifatnya merupakan komplemen dari bahasa Indonesia tersebut.

Pertanyaan logis yang mungkin timbul dengan adanya kewajiban membuat nota kesepahaman dan perjanjian dalam bahasa Indonesia adalah, apa sanksi bagi para pihak yang tidak melaksanakan kewjiban ini?

Dalam UU 24/2009 ini tidak diatur lebih lanjut sanksi bagi para pihak yang membuat perjanjian tidak dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kita perlu melihat permasalahan ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam konteks perjanjian perdata secara umum.

Sebagaimana yang kita ketahui, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan syarat sahnya suatu perjanjian salah satunya adalah karena “suatu sebab yang halal”. Apa itu sebab yang halal? Berdasarkan Pasal 1337 dijelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan kata lain, suatu perjanjian dikatakan memenuhi syarat “sebab yang halal” adalah apabila perjanjian tersebut dibuat dengan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.

Yang ingin saya sampaikan dalam hal ini adalah:

1. apakah dengan kita tidak mengikuti kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak sah berdasarkan KUHPerdata? Menurut hemat saya, iya. Dalam memandang masalah ini, saya menggunakan pandangan konservatif yang cukup sempit, yaitu menafsirkan penerapan Pasal 1337 terhadap kewajiban dalam Pasal 31 UU 24/2009. Dengan tidak memenuhi Pasal 31 UU 24/2009 tersebut dapat dikatakan perjanjian kita tidak sah berdasarkan KUHPerdata, sehingga perjanjian tersebut secara otomatis akan batal demi hukum.

2. apakah suatu pihak (pihak Indonesia) dapat menuntut pihak lainnya (pihak asing) apabila suatu perjanjian setelah UU 24/2009 ini diundangkan dibuat hanya dalam bahasa Inggris? Sekali lagi, secara hemat saya jawab, iya. Pihak Indonesia dapat mengajukan gugatannya dengan dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak asing. Alasannya adalah, pihak asing tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan membuat perjanjian yang melanggar ketentuan dalam Pasal 31 UU 24/2009.

Pendapat saya di atas dapat saja ternyata kemudian hari berubah, seiring diterbitkannya Peraturan Pemerintah sehubungan UU 24/2009 ini.

Sesungguhnya, masih tersisa pertanyaan sehubungan dengan dua pertanyaan di atas, yaitu: Apakah dapat dalam perjanjian, para pihak sepakat hanya untuk menggunakan bahasa Indonesia dan untuk itu para pihak sepakat mengenyampingkan Pasal 31 UU 24/2009? Hal ini perlu kita pertanyakan, mengingat sering kali dalam suatu perjanjian para pihak mengenyampingkan suatu ketentuan hukum (contoh: mengenyampingkan ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPerdata).

  • *gambar diperoleh dari sini