Tanya Jawab @ Detik Forum Tentang Kekuatan Hukum E-Mail

Saya hanya ingin berbagi dengan rekan sekalian mengenai diskusi hukum yang terjadi di Detik Forum. Karena saya yakin tidak semua rekan membaca atau terdaftar sebagai member dari forum diskusi tersebut, maka dari itu ada baiknya kalau potongan diskusi tersebut saya posting di sini. Tulisan yang ingin saya bagi adalah mengenai tema yang cukup menarik, yaitu berjudul”Kekuatan Hukum E-Mail“.


Rekan trishkuffner dalam postingannya di forum tersebut mengajukan pertanyaan sebagai berikut.

Mohon bantuan teman-teman pakar di sini. Apakah suatu ucapan, janji atau tawaran yang ditulis pada email mempunyai kekuatan hukum yang mengikat si pengirim email tersebut ? Bila email tersebut di-print di atas kertas, dapatkah ia dijadikan bukti hukum suatu ucapan, janji atau tawaran ? Apakah berlaku pameo “perjanjian merupakan UU bagi pembuatnya” ? Tks amat ya.

Berdasarkan pertanyaan tersebut dapat diambil sebuah isu hukum yang utama, yaitu: Apakah e-mail dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian dalam proses hukum di Indonesia. Kemudian diskusi di forum tersebut berkembang dengan pendekatan menggunakan materil dan formil pidana serta perjanjian perdata sebagaimana tanggapan dari rekan qnoykeren sebagai berikut.

dalam KUH Pidana ada istilah INGKAR JANJI… dan dapat dikenakan sanksi pidana. dalam artian luas loh..

tp belum memasuki nama na suatu perjanjian, kl perjanjian kan harus ada tanda tangan kedua belah pihak dan jika salah satu pihak wanprestasi br isa dikatakan inkar janji dalam artian sempit KUH perdata ( menyangkut masalah perjanjian).

analisis lebih mendalam dapat kita temukan pada komentar rekan gumnut yang menjelaskan sebagai berikut.

Tergantung, sebab kalau misalnya itu email dari bank (utk Netbanking) dan semacam-nya itu legal dan sah. Tapi kalau misalnya email (atau lebih tepatnya disebut scam dan spam lol) itu gak bisa dibilang legal, contohnya ingat email2 pada saat Internet masih hangat2nya, email2 yg pernah datang berbondong2 ke inbox kita yg menyatakan kalau kita menang undian or nerima hak waris bla bla itu gak bisa dibilang sah sama sekali, mereka bisa bilang ini itu tapi kita gak bisa menuntutnya. Salah si penerima saja kok bisa percaya dg hal beginian.

Kalau misalnya kamu dapat email dari seseorang yg mencantumkan nama dan pekerjaan dia misalnya (ini hanya contoh so fiktif aja):
John Darwin
Manager IT
PT Such and Such
Phone/Fax 0274 78XXXXXX
Email j.darwin@suchandsuch.com

Dan lalu kalau bisa ditrack IPnya, ini bisa dianggap sah dan bisa dijadikan barang bukti utk pengaduan.

Other than that, dunia Internet ini masih dunia kelabu, unless kamu tahu dan pasti historynya, sangat sulit utk dibawa ke meja hijau. Walau janji dan pernyataan itu kelihatan-nya masuk akal. Makanya banyak org tertipu didunia ini more than didunia beneran, contohnya ini barusan di Goldcoast Australia seorang wanita pengusaha ketipu besar2an lewat Internet dijanjiin muluk2 sampe habis puluhan ribu dollars oleh orang Afrika, semua transaksi dan komunikasi hanya lewat email belaka.

Pesan saya, berhati2lah dalam hal transaksi or janji2 lewat Internet, banyak criminals neh didunia yg ini karena ya seperti saya bilang tadi, tapi karena masih “grey”, jadi sulit dan berbelit2 ngurusnya, dan nggak semua pihak berwajib mau menangani secara serious.

Moga2 ini membantu…

Saya sendiri menjawab dengan pendekatan hukum pembuktian pada hukum acara pidana, karena pada dasarnya sedikit banyak seaktu menulis skripsi, saya banyak sekali membahas mengenai penggunaan e-mail atau informasi berupa data elektronik lainnya sebagai alat bukti. Berikut adalah jawaban atau komentar saya di forum tersebut.

Untuk sekedar diketahui,

penggunaan e-mail dalam proses pembuktian di Indonesia telah diakomodir. Dalam beberapa tindak pidana, e-mail sudah dapat digunakan sebagai alat bukti. Contohnya dalam tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme, e-mail sudah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri, yaitu

alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu

Dalam KUHAP memang penggunaan alat bukti elektronik atau digital evidence seperti e-mail belum tercantum secara jelas. Akan tetapi, e-mail tetap dapat digunakan dalam pembuktian sebagai alat bukti surat. tentu sajah setelah melalui proses formil dari alat bukti surat.

Untuk penggunaan e-mail dalam perkara perdata saya rasa justru akan lebih sulit, mengingat pembuktian dalam perkara perdata adalah upaya mencari kebenaran formil. Untuk memenuhi kebenaran formil akan suatu e-mail cukup lah rumit, karena menurut sayah e-mail yang memenuhi kriteria tersebut bukan lah e-mail yang kita peroleh di sisi end-user melainkan e-mail yang tersimpat dalam sebuah mail server yang kredibel.

Setelah komentar saya tersebut, diskusi bergerak ke arah mempertanyakan mengeai Cyber Law di Indonesia. Kebanyakan memberikan komentar kalau cyber law di Indonesia belum ada atau belum bisa dijalankan dengan berbagai alasan, antara lain ada rekan yang mengatakan kalau dari aparatnya sendiri belum siap untuk mengimplementasikan atau ada yang mengatakan kalau dokumen cetak beserta “tanda tangan basah” masih lebih dipercaya. Rekan adeknyasemut lebih tegas lagi mengatakan bahwa:

selama status dan posisi UDANG-UDANG CYBER atau CYBER LAW belum jelas di Indonesia, email hanyalah pelengkap bukti dan belum bisa dijadikan bukti otentik yg kuat….tp klo cyber law sudah jelas, nahh itu beda cerita. karena email yg mereka jadikan bukti saat ini terkesan masih dipaksakan…

Menanggapi hal tersebut, saya kembali memberikan komentar sebagai berikut.

Saya kurang setuju dengan anda. Bagaimana bisa dikatakan e-mail hanyalah pelengkap bukti atau belum bisa dijadikan bukti otentik padahal penggunaan e-mail / bukti elektronik sebagai alat bukti telah jelas diantur dalam Undang-undang yang saya sebutkan di atas.

Kalau bukti elektronik dalam tindak pidana korupsi memang statusnya agak berbeda. Dalam tindak pidana korupsi, bukti elektronik digunakan sebagai perluasan perolehan alat bukti petunjuk yang telah diatur dalam KUHAP. Tapi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik sudah diakomodir oleh undang-undang.

Kedepannya, penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik ini tidak hanya akan diatur dalam undang-undang khusus (lex specialis), tapi juga akan dimasukan dalam revisi KUHAP.

Lebih lanjut, sebaiknya mulai saat ini kita tidak menggunakan istilah cyber law, karena cyber law hanya merujuk pada istilah teknik “cyber” bukan merujuk pada peristiwa hukumnya itu sendiri. Lebih tepat kalau kita menggunakan istilah cyberspace law (untuk lebih jelas mengenai perbedaan penggunaan istilah ini dapat merujuk pada buku Kompilasi Hukum Telematika dengan editor Edmon Makarim, SH, SKom, LLM).

Selanjutnya, menanggapi komentar KingRhoma yaitu “…makanya tiap dokumen tetap diperluin tanda tangan basah”

Dari pernyataan tersebut, timbul suatu pertanyaan baru, lebih mudah mana, memalsukan “tanda tangan basa” atau tanda tangan digital?

Ok, berbicara tanda tangan, maka kita berbicara mengenai otorisasi dan otentifikasi. Apabila kita menandatangani suatu dokumen, maka itu adalah upaya kita untuk mengotorisasi dokumen tersebut yang menyatakan bahwa dokumen tersebut telah diketahui / disetujui / dibaca / dipahami / dibuat / akan dilakukan oleh si penandatangan. Selain itu dengan menandatangi secara “basah” itu merupakan langkah kita untuk mengotentifikasi bahwa dokumen tersebut benar adanya (asli).

Kemudian, bicara mengenai mengotentifikasi (menguji keaslian) suatu dokumen, saya ada pertanyaan lebih lanjut. Apabila anda membuat suatu perjanjian di komputer, kemudian anda menyimpan dokumen/berkas tersebut di hardisk komputer, lalau mencetak (print) dokumen tersebut,manakah dokumen yang asli? yang di komputer (hdd) atau yang di print? Kalau menurut saya dokumen yang asli adalah yang di komputer. Nah untuk itu, kenapa ketika waktu masih tersimpan di komputer dokumen tersebut tidak ditandatangani secara digital untuk menjaga otorisasi dan otentifikasinya. Sehingga dokumen hasil cetaknya juga akan terjamin ke otorisasian dan ke otentifikasian.

Diskusi tersebut sementara ditutup oleh pernyataan dari rekan kambing_jantan2001 yang lebih menyoroti latar belakang “cyber law” tidak bisa atau belum dapat diimplementasikan di Indonesia yaitu

kemauan hakim-hakim di pengadilan Indonesia untuk meng-interpretasikan email sebagai alat bukti dan juga sebagian besar hakim-hakim indonesia berusia lanjut secara psikologis hal ini mengakibatkan hakim tidak mau untuk mempelajari hal-hal yang baru dalam perkembangan kehidupan masyarakat hukum itu sendiri.

Jadi dapat saya simpulkan dari diskusi tersebut adalah:

1. masih banyak pandangan yang berkembang dimasyarakat kalau bukti berupa informasi elektronik tidak dapat digunakan dalam proses persidangan, ataupun kalau dapat digunakan, fungsinya tidak lebih dari pelengkap.

2. banyak yang masih berorientasi pada dokumen cetak yang dikuatkan dengan tanda tangan. Hal ini memang tidak salah, tapi alangkah baiknya kalau memang arah dan tujuan dari dokumen cetak dan tanda tangan “basah” tersebut adalah untuk tujuan otentifikasi dan otorisasi, kita dapat mulai melakukan pemahaman yang dikembangkan ke arah penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan digital.

3. kurangnya kemauan hakim-hakim di pengadilan Indonesia untuk meng-interpretasikan email atau informasi elektronik lainnya sebagai alat bukti. Untuk diperlukan keinginan yang kuat bagi aparat hukum untuk selalu meng-update pengetahuan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum yang paling berpotensi untuk mendukung penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti melalui putusannya sudah saatnya lebih membuka mata terhadap perkembangan teknologi. Terlepas dari hakim memiliki hak untuk menentukan pandangannya sendiri.

Demikian lah potongan diskusi yang saya ikuti dari detik forum. Semoga bermanfaat

Regards,

Ahmad Zakaria (Zka)

2 Replies to “Tanya Jawab @ Detik Forum Tentang Kekuatan Hukum E-Mail”

  1. Sebulan yang lalu sy beli mobil baru. Awalnya ada sales dari dealer yg datang ke rumah menawarkan mobil dg DP Rp 71jt angsurannya Rp 11,2jt x 11 bln. Sy setuju dan menyerahkan DP tsb ke sales itu serta menandatangani kwitansinya. Seminggu yg lalu sy ketahui dari dealer ternyata DP yg diserahkan sales tsb Rp 50jt-an (bukan 71jt). Jadi sales tsb mengambil 21jt-an. Menurut pihak dealer kalau angsurannya 11,2jt seharusnya DPnya 50jt-an; dan jika DPnya 71jt-an angsurannya 9jt-an. Apakah sales tsb bisa dikenakan pasal 378 KUHP dengan modus membohongi pembeli (walaupun sy sudah setuju dan menandatangani kwitansinya)?
    Thx…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.